Hubungan HAM dan Pembangunan

Elisa Awandita Putri
4825144056
Sospem b 2014


Kasus

Metrotvnews.com, Yogyakarta: Tingkat ketidakadilan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sejumlah wilayah di Jawa Tengah meningkat di tahun 2015. Hal tersebut terungkap dalam Laporan Akhir Tahun 2015 dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang dikeluarkan, Selasa (29/10/2015).

Dalam isi laporannya, LBH Yogyakarta menerima sebanyak 245 pengaduan, baik dari masyarakat secara individu maupun kelompok. Jumlah itu meningkat dibanding dua tahun sebelumnya, 230 pengaduan pada 2014 dan 223 aduan di tahun 2013.

Direktur LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin menjelaskan, dari ratusan kasus yang ditangani, banyak yang berawal dari masalah pertanahan di Yogyakarta. Ada beberapa contoh kasus yang ia sebutkan.

Misalnya, pembangunan bandara di Kecamatan Temon, Kulonprogo. LBH menyebut ada kriminalisasi petani yang menentang pembangunan bandara. Lalu, gugatan Rp1 miliar lebih kepada lima PKL di Gondomanan, dan yang teranyar gugatan perizinan lingkungan atas pembangunan Apartemen Uttara di Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman.

"Buntutnya ke pelanggaran hak, seperti hak memiliki pekerjaan, hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak kebebasan berekspresi," kata Hamzal di LBH Yogyakarta.

Kasus penolakan pembangunan bandara, kriminalisasi petani Kulon Progo penolak bandara, gugatan PKL, menjadi sekian kasus yang terjadi akibat Sultan Ground (tanah Kasultanan) dan Paku Alam Ground (tanah Pakualaman). 

Hamzal menilai, pemberian kekancingan kepada investor menjadi awal kasus pertanahan berurusan dengan Sultan Ground ataupun Paku Alam Ground. "Pemberian ini (dilakukan) secara sepihak, tidak melihat kondisi sosial masyarakat setempat yang sudah mengolah tanah untuk hidup," ungkapnya.

Dalam kasus lain, yakni penolakan masyarakat terhadap pembangunan Apartemen Uttara dan sejumlah hunian vertikal lain, menjadi kasus tanah yang berkaitan dengan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat. Bahkan, kasus penolakan pembangunan Apartemen Uttara saat ini dalam proses persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta.

Anggota LBH Yogyakarta, Rizki Fatahillah mengatakan, kasus yang masuk ke lembaganya menjadi petanda masih adanya pelanggaran HAM di Yogyakarta. Dalam kasus pembangunan hotel dan apartemen, hak masyarakat akan air tanah, lingkungan hidup yang sehat, dan jaminan ruang publik menjadi tergerus.

Bahkan, ia menganggap ada tren salah dalam proses pembangunan hunian vertikal tersebut. "Trennya, pembangunan bisa berjalan padahal izin belum terbit, termasuk izin lingkungan, Amdal, dan izin gangguan (HO). Dengan alasan pariwisata, perizinan diobral habis-habisan," ujarnya.

Menurutnya, jika terus dibiarkan, hal seperti iti berisiko menyingkiran adanya ruang publik. Mengingat, pembangunan jenis tersebut lebih banyak memberikan manfaat bagi kelas menengah ke atas.

"Ekonomi tinggi, tapi ketimpangan terlihat. Manfaat hanya bisa dirasakan kelas menengah," kata dia.

Ia menambahkan, LBH sejauh ini hanya memberikan dukungan peningkatan kapasitas bagi masyarakat dalam memberikan perlawanan. Sebab, sudah terhitung banyak masyarakat yang sadar akan haknya yang dilanggar dan kemudian mengambil tindakan. "LBH lebih banyak membantu meningkatkan kapasitas dan konsultatif kepada masyarakat," ungkapnya.

Editor : Sigit Aprianto Nugroho


Analisis

Upaya penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM merupakan upaya yang sejatinya dilakukan terus menerus dan berkesinambungan oleh berbagai pihak, utamanya dilakukan dan dipimpin oleh negara yang merupakan pemangku kewajiban hak asasi manusia. Upaya yang berkesinambungan ini diharapkan terwujud dalam pembangunan yang dilakukan oleh negara itu sendiri. 

Sejak kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dicanangkan pada awal 2000, negara – negara sepakat bahwa pembangunan dengan fokus antara lain pada pengentasan kemisikinan, pendidikan, pemberdayaan perempuan dan kesehatan menggunakan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap seluruh hak asasi manusia sebagai landasan dasarnya. Dengan demikian pembangunan berbasis HAM merupakan pendekatan yang juga menjadi sandaran. Kini, dengan akan berakhirnya kesepakatan MDGs pada 2015 upaya pembangunan berkelanjutan tersebut diteruskan menjadi isu Pasca 2015 (Post 2015).

Kantor Komisi Tinggi HAM melalui berbagai forum menyatakan pentingnya penghormatan terhadap prinsip – prinsip hak asasi manusia termasuk di dalamnya, kesetaraan, non diskiriminasi dan akuntabilitas untuk juga menjadi prinsip dasar Agenda Pasca 2015. Maka, sejak Juni 2012, penghormatan terhadap HAM, sejalan dengan kesetaraan dan keberlanjutan merupakan prinsip dasar yang melandasi kegiatan pembangunan yang menjadi Agenda Pasca 2015. Dengan demikian, ukuran pembangunan yang umumnya dinilai dengan angka – angka pendapatan perkapita, diberi nilai lain yaitu antara lain kebebasan, kesetaraan dan demokrasi. 

Namun, Hak Asasi Manusia (HAM) yang belakangan ini selalu di gembar gemborkan untuk melindungi rakyat belum sepenuhnya terlaksanakan. Hak rakyat dirampas oleh penguasa yang berdalih untuk pembangunan dan kemajuan. Seharusnya pembangunan itu berbasis hak asasi manusia seperti yang sudah disebutkan di atas dalam sebuah panduan milik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Tetapi yatanya pelanggaran HAM kembali terjadi seperti yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sejumlah wilayah di Jawa Tengah meningkat di tahun 2015. Seperti kasus pembangunan bandara di Kecamatan Temon, Kulonprogo. LBH Yogyakarta menyebut ada kriminalisasi petani yang menentang pembangunan bandara. Para petani menolak lahan pertanian mereka digusur dan akan di jadikan bandara. Jelas mereka merasa hak dirampas karena lahan mata pencaharian untuk kehidupan sehari-hari akan hilang. Buntutnya ke pelanggaran hak, seperti hak memiliki pekerjaan, hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak kebebasan berekspresi.

Salah satu kasus perampasan ruang hidup di pesisir selatan Yogyakarta sedang dialami oleh warga yang terhimpun dalam organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT), Kulon Progo. Kasus ini bermula saat pemerintah Indonesia pada 25 Januari 2011, yang diwakili oleh PT. Angkasa Pura I, meneken kontrak kerja sama dengan investor asal India GVK Power & Infrastructure untuk membangun bandara baru internasional di pesisir. Dokumen perencanaan pembangunannya menyebut proyek bandara baru akan memakan lahan seluas 637 hektare. Lokasinya meliputi 6 desa di Kecamatan Temon, yaitu Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo, dan Temon Kulon. Di kawasan 6 desa ini terdapat sekitar 11.501 jiwa (2.875 KK) yang mayoritas hidup dengan mata pencaharian di bidang pertanian dan nelayan.

Dari khasanah sejarah budaya, di sana terdapat beberapa situs kuno yang masih terawat dengan baik, di antaranya Situs Stupa Glagah, Arca Perunggu Amoghasidhi dan Vajrapani, Lumpang Batu, Batu besar Eyang GadhungMlati, Gunung Lanang dan Putri, dan Makam Mbah Drajad. Situs-situs ini adalah bukti bahwa pesisir selatan Kulon Progo merupakan peradaban tua yang kaya akan nilai-nilai budaya maritim dan agraris.

Sejak munculnya isu pembangunan bandara, berbagai tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap warga kerap terjadi. Selain kriminalisasi terhadap beberapa tokoh perjuangan Wahana Tri Tunggal (WTT), tindakan-tindakan intimidasi oleh aparat negara dalam bentuk lain juga sering terjadi, misalnya: warga ditakut-takuti dengan pernyataan bahwa pembangunan bandara adalah demi kepentingan negara; warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya adalah sisa-sisa anggota PKI; warga yang tidak pro bandara adalah melawan negara; warga yang kekeuh menolak bandara nantinya tetap akan digusur lahannya dan tidak mendapat apa-apa. 

Hal tersebut bisa saja disebut sebagai “Pemiskinan Masyarakat”. Seperti yang dituturkan oleh Direktur Penanggulangan Kemiskinan Bappenas Vivi Yulaswati bahwa pembangunan infrastruktur skala besar juga dapat menyebabkan pemiskinan masyarakat lokal. Hal tersebut, sambungnya, berkaitan dengan persoalan akses di tingkat masyarakat. Dia menuturkan masyarakat miskin memiliki akses yang cukup panjang untuk mendapatkan keuntungan dari pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah lokal harus memiliki kebijakan yang membantu kelompok tersebut.

Referensi:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2013, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: S E B U A H P A N D U A N, hlm. 5
 
http://www.metrotvnews.com/amp/8N0gLJOK-pelanggaran-ham-di-yogya-didominasi-kasus-pertanahan

http://selamatkanbumi.com/id/kertas-posisi-perjuangan-wtt-kulon-progo-2/

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20160830204212-20-154977/komnas-ham-proyek-infrastruktur-penuh-kekerasan/



Comments

Popular posts from this blog

OTONOMI KHUSUS DAERAH ACEH, DKI JAKARTA DAN DIY

Hak Alamiah ( Cikal bakal Hak Asasi Manusia)