Perjuangan dan Perlawanan Petani Kendeng termasuk dalam Gerakan Sosial Baru

(Tulisan ini berdasarkan sudut pandang saya sebagai mahasiswa)

Kasus

Rangkaian perjuangan warga Kendeng untuk membebaskan lahannya dari operasi pabrik semen terus berjalan. Pada 4 Oktober 2016, gugatan Peninjauan Kembali (PK)  warga Rembang dikabulkan Mahkamah Agung (MA).  Putusan MA nomor register 99 PK/TUN 2016, terkait peninjauan kembali menyatakan, izin lingkungan dan pertambangan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Rembang, dibatalkan.

Namun disisi lain, Pemprov Jawa Tengah terus mengupayakan agar PT Semen Indonesia beroperasi. Hanya selang sekitar sebulan lebih sejak izin lama dicabut, pada bulan Februari 2017, izin baru lingkungan baru bernomor 660.1/0493 ditandatangai oleh Sugeng Riyanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jateng.

Kisah ini bermula dari kekayaan alam batu gamping yang membentang di Pegunungan Kendeng Utara. Kekayaan alam ini kemudian menjadi sumber konflik ketika perusahaan semen ingin melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah tersebut.

Rencana pembangunan pabrik semen dimulai tahun 2005 yang diawali oleh PT. Semen Gresik yang akan mendirikan pabrik di empat kecamatan diantaranyaSukolilo, Kayen, Gabus, dan Margorejo, yang terbagi dalam empat belas desa dengan total luas lahan 1.350 hektar. Namun, PT. Semen Gresik gagal melakukan kegiatan eksplorasi di kawasan Kendeng karena penolakan warga.

Dalam keyakinan warga, operasi pabrik semen akan mengganggu CAT (cekungan air tanah) yang menjadi sandaran warga yang sebagian berprofesi sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Operasi pabrik semen selanjutnya akan membatasi ruang hidup warga  dan akan menyebabkan permasalahan sosial yang serius di masa depan.

Penolakan ini juga didukung oleh warga SedulurSikep, yang menganut kepercayaan Samin. Sedulur Sikep merupakan warga asli yang tinggal di kawasan Pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi antara Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur.

Kemunculan pabrik semen di pegunungan Kendeng tak lepas dari kepentingan pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mendapatkan investasi triliunan rupiah yang masuk ke Jawa Tengah. Investasi ini akan merangsang perekonomian karena dapat menyerap ribuan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Sementara di sisi lain, PT. Semen Indonesia memiliki target untuk ekspansi, setelah sebelumnya melakukan akuisisi perusahaan semen di Vietnam. Selain itu, PT. Semen Indonesia merencanakan mempertahankan pangsa pasar domestik sekitar 45 persen, sehingga membutuhkan tambahan pabrik baru untuk dapat tercapai kapasitas produksi sebesar 36,5 juta ton (Antara, 2013).

Analisis

Dari kasus di atas saya akan mencoba mengaitkan perjuangan dan perlawanan masyarakat Kendeng yang menolak pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia di daerah mereka, dengan gerakan sosial baru yang saya pelajari dimata kuliah hubungan antar kelompok dan gerakan sosial. Menurut saya, bahwa perlawanan masyarakat Kendeng ini termasuk dalam Gerakan Sosial Baru (GSB). Sebelum membahas tentang Gerakan Sosial Baru, alangkah baiknya jika kita menilik arti dari gerakan sosial. 

Giddens (1999: 643) mendifiniskan gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Sydney Tarrow (1998:4) gerakan sosial adalah tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang wewenang. Dari dua definisi ini, gerakan sosial merupakan gerakan kolektif yang bersifat menentang untuk mencapaik tujuan kolektif pula. 

Untuk istilah gerakan sosial baru (GSB) dipergunakan secara luas untuk merujuk kepada fenomena gerakan sosial yang muncul sejak pertengahan 1960-an terutama di negara-negara maju, Amerika Serikat dan Eropa Barat, yang telah memasuki era ekonomi pasca-industrial. 

Gerakan sosial baru berpusat pada tujuan-tujuan non-material. GSB biasanya menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahan-perubahan spesifik dalam kebijakan public atau perubahan ekonomi, sebagaimana tercermin dari gerakan lingkungan, anti-perang, perdamaian, feminisme dan sejenisnya (Nash, 2005; Wikipedia the free encyclopedia, tanpa tahun). 

Dalam perkembangannya, para ahli telah memperluas kajiannya ke berbagai negara sedang berkembang, dan menemukan adanya tipe gerakan sosial yang kurang lebih sama, meskipun latar (setting) dan konteks perkembangan masyarakat pasca-industrial belum terjadi di negara-negara tersebut. Karena itu, GSB bukan hanya terjadi di negara-negara Barat saja, tetapi juga berlangsung di negara-negara berkembang (Singh, 2001). Gerakan-gerakan lingkungan, feminisme, hak asasi manusia, perdamaian, dan senagainya, yang biasa dirujuk sebagai bagian dari GSB, terus berlangsung baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. 

Mengapa saya katakana bahwa gerakan perlawanan rakyat Kendeng ini adalah Gerakan Sosial Baru? Karena, tujuan dari perlawanan mereka adalah masalah sumber penghidupan, lingkungan dan juga hak para petani Kendeng ini. Penghidupan warga Kendeng yang notabene sangat bergantung pada sumber daya alam tentu saja mereka tidak ingin jika lingkungannya tercemar oleh beroperasinya pabrik semen. Kaum perempuan juga turut terlibat dalam aksi perlawanan tersebut. Para perempuan berupaya menjaga Cadangan Air Tanah (CAT) yang selama ini memberikan kesuburan di wilayah karst Kendeng. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini bahwa kaum perempuan ikut sebuah aksi menutup akses jalan ke lokasi pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang. 

Tidak perlu heran apabila perlawanan para sedulur di Kendeng dan juga perlawanan perlawanan kaum tani di berbagai tempat lainnya di Indonesia sering mendapatkan cap-cap peyoratif. Karena, dalam sejarahnya, para penguasa dan kelas-kelas yang menindas selalu berkepentingan untuk mendiskreditkan gerakan rakyat. Gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dicap sebagai ‘para provokator’, gerakan hak-hak sipil di Barat dilabeli ‘terlalu radikal’, gerakan buruh dianggap sebagai ‘tukang bikin onar yang bikin macet jalan’, gerakan perempuan dituding ‘melanggar norma-norma kesusilaan’, gerakan kaum miskin kota dicurigai ‘rawan ditunggangi.’ Dan seterusnya dan seterusnya.  Memang benar jika selama menjalani aksi perlawanan ini, tak jarang warga Kendeng mendapat banyak penilaian miring. Mereka sering dianggap provokator, massa yang gampang dihasut dan massa bayaran yang ditunggani kepentingan kelompok tertentu. Namun tak ada nada keluh kesah dari para petani Kendeng. Mereka tetap tidak menyerah.

Gerakan perlawanan petani Kendeng ini juga mendapatkan penguatan basis gerakan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Eko Arief Yanto, seorang aktivis JMPKK mengatakan, para petani akan terus melancarkan aksi jika belum ada respon yang jelas dari pemerintah atas tuntutan mereka untuk menutup pabrik semen tersebut. Dan Aswinawati dari YLBHI mengatakan pihaknya siap terus mendukung keinginan para petani, termasuk menggugat pemerintah.  Sebenarnya aksi para petani yang mengecor kaki dengan semen ini sudah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pada Oktober 2016 para petani memenangkan gugatan para petani dan Wahana Lingunkungan Hidup terhadap PT Semen Indonesia lewat siding peninjauan kembali Makhkamah Agung (MA). Namun, sebulan kemudian Gubernur Ganjar kembali memberikan izinin lingkungan pada PT Semen Indonesia yang baru dicabutnya sebulan sebelumnya. Jelas hal ini menimbulkan keheranan bagi para petani Kendeng. 

Aksi cor semen bukanlah suatu kesia-siaan. Besar kemungkinan, proyek investasi besar-besaran rezim Jokowi tetap berjalan, pembangunan pabrik semen hanya berhenti untuk sementara, dan isu-isu agraria kembali akan menjadi ‘angin lalu’ Tetapi, ia telah berhasil mengundang gelombang perlawanan yang lebih besar. Pertama-tama dan terutama, para sedulur telah memberikan teladan yang luar biasa: keberanian dan konsistensi dalam melawan. Aksi cor kaki bukanlah aksi siksa diri yang egoistis, sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak. Jauh dari itu, aksi cor kaki adalah aksi perlawanan yang politis, militan, dan penuh integritas. Aksi tersebut hanya dapat muncul dari mereka yang mencintai hidup dan penghidupannya dan setia akan cita-cita kemajuan bersama – alih-alih bagi segelintir elit – yang dapat dinikmati oleh semua. Aksi cor kaki para sedulur juga mengingatkan kita kembali akan satu hal yang penting: perlunya untuk tetap setia di garis massa. Kita bisa memproblematisir dan mengkritik strategi dan taktik dari aksi tersebut (tentu saja, secara konstruktif alih-alih nyinyir), tetapi, setidak-tidaknya, aksi ini telah berhasil menjadi momentum untuk mengumpulkan energy perlawanan, memperluas titik perlawanan, dan menjadi bahan untuk merumuskan lokus perlawanan baru melawan rezim developmentalis pro-investasinya Jokowi. 

Bagaimana pun hasilnya saya harap pemerintah segera memberikan respon terhadap para petani yang melalukan gerakan sosial tersebut. Diharapkan keputusan pemerintah tidak merugikan petani dan juga tidak menyurutkan program investasi besar-besaran yang sedang dicanangkan Presiden Jokowi. 

Daftar Pustaka

Antara News 
Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani, Fisipol UGM, Yogyakarta, 2006
www.benarnews.org, diakses pada 1 Mei 2017
www.indoprogress.com, diakses pada 1 Mei 2017
www.mongabay.co.id, diakses pada 1 Mei 2017

Comments

Popular posts from this blog

OTONOMI KHUSUS DAERAH ACEH, DKI JAKARTA DAN DIY

Hubungan HAM dan Pembangunan

Hak Alamiah ( Cikal bakal Hak Asasi Manusia)