OTONOMI KHUSUS DAERAH ACEH, DKI JAKARTA DAN DIY

OTONOMI KHUSUS ACEH

UU otonomi khusus Aceh diatur oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Sifat otonomi khusus Aceh adalah buah kesepakatan dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.

Aceh merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang mempunyai status “otonomi khusus” pada tahun 2001 melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak awal kemerdekaan, Aceh menghendaki menjadi kawasan dengan perlakuan khusus. Karena pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, masyarakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik Indonesia. Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan negara ini, merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia. 

Kedudukan aceh sebagai suatu wilayah sempat berubah rubah. Awalnya Aceh merupakan salah satu keresidenan dalam propinsi Sumatera Utara. Pada 5 April 1948 dengan UU no.10 Tahun 1948 Karesidenan Aceh berada di bawah Propinsi Sumatera Utara. Kemudian berganti menjadi sebuah provinsi berdasarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah 5 Undang-Undang no.8/Des/WKPM tahun 1949. Namun pada tahun 1951 Propinsi Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu karesidenan dalam Propinsi Sumatera Utara bersama-sama Sumatera Timur dan Tapanuli berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 yang telah diubah dengan Undang-Undang Darurat No.16 tahun 1955. Namun pada akhirnya untuk memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh, Presiden Soekarno mengubah kembali status Karesidenan Aceh menjadi Daerah Otonom Propinsi Aceh pada tanggal 29 November 1956. Kebijakan tersebut tertuang dalam UU No.24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara yang diundangkan tanggal 7 Desember 1956.

Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat, melalui Perdana Menteri Hardi, pada tahun 1959, mengirimkan satu misi khusus yang dikenal dengan nama Misi Hardi. Misi ini menghasilkan pemberian status “Daerah Istimewa” kepada Provinsi Aceh melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959. Dengan predikat tersebut, Aceh memperoleh hak-hak otonomi yang luas di bidang agama, adat, dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dalam Pasal 88 UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (BPS, 2002: xvii).

Kebijakan Otonomi Khusus Aceh

Kemudian dengan disahkannya UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Provinsi Aceh diberikan Keistimewaan dalam Pendidikan, Adat dan peran Ulama dalam pembangunan Aceh, ditambah lagi B.J Habibie yang pada era pemerintahan saat itu menjabat sebagai presiden menambhkan keistimewaan Aceh dengan memasukkan klausul “peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah”. Klausul ini ditindaklanjuti dengan membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Badan ini bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, serta tatanan ekonomi yang islami oleh sebab itu telah terdapat landasan yang kuat dalam melaksanakan syariat Islam dalam Provinsi Aceh. Namun dalam pelaksanan penyelenggaraan kestimewaan aceh melalui UU No.44 Tahun 1999 dinilai masih belum cukup adil oleh karenanya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat UU No. 18 Tahun 2001 sebagai bentuk respon dari kurang berhasilnya penyelenggaraan kestimewaan aceh. Undang-undang ini menitik-beratkan otonomi khusus pada Provinsi Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah kabupaten dan kota atau nama lain secara proporsional.

Melalui uraian diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ciri khas dari pelaksanaan otonomi khusus di Aceh adalah dengan memberlakuan syariat islam secara legal formal beserta segala perangkatnya yang dijadikan dasar oleh masyarakat Aceh dalam bertindak dan berprilaku, serta Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang nomor 18 tahun 2001 menjadi dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh.

UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD, menyebutkan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Aceh diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU Sedangkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang gubernur.



OTONOMI KHUSUS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Secara yuridis, bahwa keistimewaan Yogyakarta telah diakui di negara Indonesia sebagaimana telah tertulis dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Dengan dasar itulah, maka Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya disingkat (DIY) haruslah dihormati oleh segenap unsur negara baik pemerintah, masyarakat dan Undang-Undang. Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang terdiri dari 16 Bab dan 51 Pasal ini substansi kewenangan keistimewaan dibagi dalam 5 (lima) aspek. Ruang lingkup keistimewaan DIY tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, diantaranya:
a. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur  b. Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c. Kebudayaan; d. Pertanahan; e. Tata ruang.
Keistimewaan DIY dalam UU No.13 Tahun 2012
Tanggal 31 Agustus 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No.13 Tahun 2012 tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melengkapi UU No. 3 Tahun 1950, UU No. 19 Tahun 1950, dan UU No. 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Keistimewaan yang dimaksud dalam UU No.13 Tahun 2012 adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan istimewa dalah wewenang tambahan teretentu  selain wewenang yang ditentukan dalam UU tentang pemda. Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk:
1) Mewujudkan pemerintahan yang demokratis
2) Mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat
3) Mewujudkan tata pemerintahan dan tatann sosial yang menjamin ke-bhineka-tunggal-ik-an dalam kerangka NKRI
4) Menciptakan pemerintahan yang baik
5) Melembagakan peran dan tanggung jawab Kesultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkn budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa yang diwujudkan dalam pemeliharaan, pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY

Keistimewaan dalam urusan kewenangan pemeritahan DIY meliputi:
1) Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur dan Wakil Gubernur
2) Kelembagaan  Pemerintahan DIY
3) Kebudayaan, pertahahan, dan tata ruang
Dengan demikian terdapat dua produk hukum daerah yang ada di DIY, yaitu 1) Perda DIY untuk mengatur penyelenggaran pemerintahan deerh yang diatur dalam UU, dan 2) Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY untuk mengatur penyelenggaran Kewenangan Istimewa.
Dalam persyaratan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur di DIY dalam pasal 18 UU No.13 Tahun 2012 di mana untuk calon Gubernur harus bertahta Sultan dan Adipati untuk calon Wakil Gubernur. Jika dibandingkan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, di mana calon lebih luas cakupannya karena calon Gubernur dapat berasal dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat.
Dalam hal pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diatur secara istimewa karena yang melantik adalah presiden.Jika presiden berhalangan, pelantikan dilakukan oleh wakil presiden. Apabila presiden atupun wakil presiden berhalangan hadir maka pelantikan akan dilakukan oleh menteri. Adapun mengenai jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY selama 5 tahun dan tidak terikat ketentuan 2 kali periodesasi masa jabatan sebagaimana yang diatur dalam UU tentang pemerintahan daerah (pasal 25).
Menurut ketentuan Pasal 15 ayat 2, Gubernur berkewajiban melaporkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah DIY kepada Pemerintah.Di samping itu, menyampaikan laporan keterangan pertanggungawaban tahunan dan akhir masa jabatan kepada DPRD DIY dan melaporkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah DIY, menyampaikan laporan keterangan pertanggungawaban tahunan dan akhir masa jabatan kepada masyarakat.Tidak ada perbedaan dengan kepala daerah lainnya dalam mekanisme pertanggungjawaban, semuanya bertanggungjawab kepada presiden.Yang membedakan hanya mekanisme pengisian jabatannya saja yang tidak melalui pilkada.
Dalam perspektif HAM bisa timbul persoalan apakah UU No.13 Tahun 2012 dapat membuat larangan bagi calon kepada daerah DIY untuk tidak berpartai politik? Padahal itu merupkn bagian dari HAM di bidang politik yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3. Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui penetapan DPRD harus di-barter dengan larangan berpolitik bagi si calon.Padahal, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah jabatan politik.Dengan demikian ada keistimewaan lainnya yang dimiliki DIY, yaitu pengurangan hak politik yang bersifat diskriminatif karena calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilang berpartai politik. Di dalam Bab X Pasal 32 ditegaskan, dalam penyelenggaraan kewenangan pertahanan, Kasultanan dan Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum.
Terbentuknya otonomi khusus Daerah Istimewa Yogyakarta tentu memiliki latar historis berupa penyerahan kedaulatan kerajaan pada NKRI.Pada tanggal 18 Agustus 1945, Susuhunan Paku Buwono XII (RajaKasunanan Surakarta), KGPAA Mangkunagoro VIII (Raja Mangkunegaran), Sri Sultan Hamengku Buwono IX (SultanKasultanan Yogyakarta ) dan Sri Paku Alam VIII (Raja Pakualaman VIII), menyampaikan ucapan selamat atas kemerdekaan RI kepada Soekarno dan Hatta. 
Dua produk hukum yang mengatur DIY ialah 1) Perda DIY untuk mengatur penyelenggaran pemerintahan daerah yang diatur dalam UU, dan 2) Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY untuk mengatur penyelenggaran Kewenangan Istimewa. Keistimewaan yang didapatkan berupa (1) tata pengisian jabatan gubernur dan wakil yang berdasarkan keturunan keratin (2) kelembagaan pemerintahan DIY (3) dan berupa tata ruang, pertahanan dan kebudayaan.Sehigga dalam menjalankan pemerintahan, gubernur dapat memiliki akses langsung ke presiden dalam bidang politik. Otonomi khusus juga menyebabkan DIY memiliki cara tersendiri dalam mekanisme pengisian jabatan yaitu gubernur dan wakil harus sultan dan adipati kerajaan serta perlu bebas dari partai politik. 


OTONOMI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Pada masa Orde Lama dengan keistimewaan-keistimewaan yang terdapat pada Kota Jakarta, pada 28 Agustus 1961 kota ini kemudian diberi kedudukan khusus dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (LN 1961 No. 274, TLN 2316), yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 2 PNPS Tahun 1961, yang kemudian diubah dengan Penetapan Presiden No. 15 Tahun 1963 (LN 1963 No. 117).
Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 Pasal 1, 2, dan 3 ditegaskan, Pemerintahan Jakarta Raya yang wilayahnya meliputi Daerah Kotapraja Djakarta Raya dikuasai oleh Presiden RI melalui Menteri Pertama (Wakil Perdana Menteri). Kewenangan Pemerintah Daerah ini disamping tugas kewajiban tersebut dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan), ialah mengerjakan semua tugas pelaksanaan dari Pemerintah yang langsung menyangkut kegiatan dan kepentingan masyarakat Jakarta Raya yang kini dimasukkan dalam anggaran belanja Badan Pemerintah Agung.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan UU No. 10 Tahun 1964 (LN 1964 No. 78 TLN 2671) ditegaskan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya merupakan Ibukota Negara RI dengan nama Jakarta. Dengan demikian, nama yang kini berlaku ialah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (disingkat DKI Jakarta). Kemudian lahir UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 1 dan 2 menyatakan, adapun yang mengenai Jakarta, Pemerintah telah menetapkan status “istimewa” bukan saja karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara, akan tetapi Jakarta juga merupakan kota pelabuhan yang penting sekali, lagi pula karena merupakan suatu kota teladan dan kota internasional yang mengingat luas dan jumlah penduduknya telah tumbuh ke arah suatu kota metropolistis. Selain itu, Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 pun meberikan dasar dari status istimewa bagi Jakarta. Pertumbuhan dan perkembangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah pesat sekali dan Kotaraya ini tentu akan menjadi kota metropolistis yang membawa pemekaran kepentingan-kepentingan khusus.
UU No. 10 Tahun 1964 menegaskan bahwa dianggap perlu Daerah khusus Ibu-Kota Jakarta Raya dengan Undang-undang dinyatakan dengan tegas tetap sebagai Ibu-Kota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA, mengingat telah termahsyur dan dikenal, serta kedudukannya yang merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi, dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh penjuru dunia.
Pada akhirnya, di dalam Peraturan Pemilihan Pasal 88 ayat (1) huruf b UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ditegaskan: “Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya”, yang menurut UU No. 10 Tahun 1964 disebut Jakarta, adalah “Kotaraya” termaksud pada Pasal 2 UU ini, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 dengan mengingat perubahan-perubahan yang timbul karena berlakunya undang-undang ini.
Pada masa Orde Baru UU No. 18 tahun 1965 kemudian diganti dengan UU No. 5 tahun 1974. Menurut ketentuan pasal 3 UU No. 11 Tahun 1990, Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia merupakan tempat kedudukan pusat pemerintahan negara. Sebagai Daerah Tingkat I, Jakarta mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan Daerah Tingkat I lainnya yang bersumber dari beban tugas, tanggung jawab, dan tantangan yang lebih kompleks. Sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Ibukota Negara, Jakarta menjadi tempat penyelenggaraan Sidang Umum MPR RI, pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara, pusat kehidupan politik nasional, penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, tempat kedudukan kedutaan negara lain, serta tempat mengatur dan pembinaan wilayah DKI Jakarta.
Pada masa Reformasi saat transisi kepemimpinan Soeharto dan Habibie, pada saat itulah lahir UU No. 12 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 12 tahun 1999 bercorak desentralistik, yang mengalihkan seluruh urusan kepada daerah kecuali 5 urusan, moneter dan fiskal, peradilan, pertahanan keamanan, politik luar negeri, dan agama.
Ketika UU No. 22 tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. Otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakan pada tingkat provinsi. Penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarata dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, dan kekhususan sebagai Ibukota NKRI. Pengaturan ini berbeda dengan daerah lain yang menempatkan otonomi pada tingkat kabupaten dan kota. Susunan pemerintahan di DKI Jakarta melalui UU No. 29 tahun 2007 diubah. Jumlah wakil gubernur yang sebelumnya lebih dari satu orang (dalam UU No. 34 tahun 1999), dalam UU ini hanya ada satu orang yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilukada. Gubernur dan wakil gubernur yang dipilih melalui pemilukada harus memperoleh suara lebih dari 50%. Bila tidak memperoleh suara 50% maka calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua akan mengikuti putaran kedua. 
 Mengenai dewan kotadan dewan kabupaten yang diatur dalam UU No. 29 tahun 2007, tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya (UU No.34 tahun 1999). Perbedaannya, dewan kota dan kabupaten diusulkan oleh masyarakat dan disetujui oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk selanjutnya ditetapkan oleh gubenur. Komposisi anggota dewan kota dan dewan kabupaten yaitu satu kecamatan wakil. Sementara itu pengisian bupati atau walikota tidak diisi melalui mekanisme pemilihan umum kepala daerah melainkan diajukan oleh Gubernur kepada DPRD Provinsi DKI Jakarta dimintakan pertimbangan.

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta) sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 

Untuk itulah Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan sebagai daerah otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap terikat pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.

Beberapa hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain:
1. Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
3. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
4. Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi.
5. Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
6. Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
7. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.
8. Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.

Referensi: Dari kelompok yang membahas tentang otonomi khusus Aceh, DIY dan DKI


Comments

  1. Jakarta memiliki kemandirian pemerintahan sebagai daerah khusus ibukota

    ReplyDelete
  2. artikel menarik, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Hubungan HAM dan Pembangunan

Hak Alamiah ( Cikal bakal Hak Asasi Manusia)